Sabtu, 21 Juni 2008

Kota Lama Semarang Potensi Yang Tak Tergantikan

            Sebuah sejarah tidak akan lepas dari perkembangan suatu kota, tak terkecuali kota Semarang, sebagai salah satu kota besar di Indonesia tak lepas dari sejarah keberadaan Belanda (VOC) sebagai salah satu kota dengan potensi yang sangat diunggulkan dari beberapa aspek, seperti perdagangan dan pertahanan.  
               Memiliki nama sejarah yaitu Samarang, Samarangh, Zamarang dan yang terakhir pada jaman modern ini adalah Semarang memiliki koordinat: 6º58'00 S 110º29'00 E, berada di pulau Jawa (java), (VOC) Region: Java’s Noord Oost Kust (VOC - gebled). Semarang juga sering disebut sebagai “Belanda kecil” (The Little Netherland), dan Vanesia dari timur (Vanesia van timoer), kawasan ini berkembang sangat pesat sejak abad ke -17 pada saat Belanda menduduki kota ini. Belanda menduduki kawasan pantai utara Jawa Tengah, mendirikan benteng dan kawasan permukiman warga Eropa terutama warga Belanda. Daerah yang ditempati oleh Belanda menjadi embrio perkembangan kota Semarang pada masa selanjutnya, bermula dari Oudestad van Samarang yang lebih dikenal sebagai ”Kota Lama” menjadi pusat pemerintahan kota setelah pusat pertahanan militer dan kantor dagang VOC dipindah dari Jepara ke Semarang pada tahun 1705 dan 1773, dari kondisi inilah pemerintah Belanda membuat benteng pada kawasan kota lama ini yang digunakan sebagai pertahanan juga sebagai pemisah antara permukiman orang-orang Eropa, Jawa serta Tionghoa. Bermula dari benteng inilah fasilitas-fasilitas warga mulai tersedia, dari permukiman, pertokoan, tempat ibadah, rumah sakit, panti asuhan hingga pengadilan.
Sering perkembangan jaman yang mendesak kebutuhan akan ruang kota, maka kota ini semakin berkembang, sehingga benteng dibongkar pada tahun 1824 untuk mengakomodasi pertumbuhan kota yang meningkat.
          Dalam konteks kekinian, kawasan kota lama ini masih dipergunakan untuk beberapa aktifitas perdagangan, ibadah dan perkantoran, karena kondisi yang kurang representatif, bangunan-bangunan yang dimakan usia tanpa perawatan yang berarti, pemanfaatan bangunan ”mangkrak” untuk tempat tinggal tuna wisma dan beberapa permasalahan kompleks yang cenderung mendasar.
             Bukanlah hal yang mudah pula melakukan konservasi pada kawasan ini untuk di perbaiki, dari usia bangunan yang menua, bahan bangunan serta gangguan dari luar (seperti kendaraan yang lalu lalang, menimbulkan getaran yang dapat memper pendek usia bangunan). Seharusnya ada revitalisasi dengan perubahan fungsi kawasan seiring dengan pembenahan kawasan, misalnya pada kawasan kota lama ini kendaraan tidak diperkenankan untuk melewati jalan-jalan ini, kawasan ini dibuat hanya untuk skala manusia berjalan kaki atau alat transportasi ringan seperti sepeda atau becak, kawasan berfungsi sebagai citywalk. Namun hal ini perlu pemikiran matang terkait dengan keberadaan penduduk dan perkantoran, perlu ada pemecahan khusus masalah perparkiran, penyelesaian sirkulasi untuk menuju ke dalam kawasan dan didalam kawasan. Selain itu harus dipikirkan embrio kegiatan wisata dengan memfungsikan kembali bangunan – bangunan mangkrak dengan mengisi kegiatan di dalamnya.
            Pekerjaan besar menanti pemerintah kota Semarang, melakukan konservasi bukan hal yang murah, revitalisasi bukan hal yang mudah, namun menghancurkan bangunan-bangunan peninggalan sejarah ini adalah kerugian besar, membiarkan bangunan ini tidak berfungsi secara semestinya adalah kecerobohan. Saat ini tinggal kesadaran petinggi pemerintah yang harus berpikir maju, positif dan tidak merugikan, bukan untuk menghancurkan khasanah sejarah kota atau menggadaikan kewibawaan kota untuk kepentingan golongan sempit belaka, bantuan dari pemerintah Belanda sebagai negara yang ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab wajib dianggap sebagai niatan tulus dan pemacu semangat untuk melestarikan kawasan ini.

1 komentar:

blogbiasasaja mengatakan...

wah blognya keren pak.... salam hangat dari wong semarang