Jumat, 14 November 2008

Euforia Yang Tersisa di Stadion Gelora Jatidiri Semarang

Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia merupakan kekuatan yang diperhitungkan di kancah persepakbolaan nasional beberapa tahun terakhir ini, juara liga nasional atau minimal merengkuh posisi papan atas menjadi salah satu target yang dipenuhi pasukan Mahesa Jenar, ini tidak lepas dari pembinaan pemain muda semarang yang berjalan mulus didukung dengan fasilitas stadion yang memadai. Di kota Semarang sendiri tercatat memiliki tiga stadion besar yang mampu menggelar pertandingan-pertandingan kompetisi junior PSIS untuk memajukan bibit muda persepakbolaan semarang, stadion tersebut adalah stadion Citarum dan stadion Diponegoro selain stadion utama Gelora Jatidiri sebagai markas tim senior PSIS Semarang yang menjadi kebanggan warga kota.
Namun saat ini keterpurukan melanda kondisi tim yang dulunya bertabur bintang ini, berawal dari peraturan sepakbola nasional yang melarang menggunakan dana APBD, maka tim-tim liga super Indonesia harus dikelola secara profesional. Salah satu dampaknya adalah kemerosotan prestasi karena dana yang kurang, inilah yang saat ini jamak ditemui di kompetisi nasional Indonesia. Efek lainnya adalah kemerosotan jumlah pendukung yang menyaksikan langsung di stadion sehingga memberi dampak pada pemasukan keuangan bagi tim itu sendiri.
Gelora Jatidiri stadion megah yang dapat menampung kurang lebih 25000 penonton ini pun terasa lenggang ketika pertandingan berlangsung, banyak tempat duduk yang kosong. Beberapa fasilitas stadion juga telah dirasa berkurang kualitasnya seperti lampu stadion, papan skor, pintu stadion, kamar mandi hingga loket pembelian tiket.
Berikut ini yang mampu penulis rekam dari stadion megah Gelora Jatidiri semarang.

Salam dari warga Semarang...

Jumat, 24 Oktober 2008

Warung Sego Kucing / Kucingan / Angkringan / Hik (edisi1).

Dalam lingkup Joglosemar (Jogja – Solo – Semarang), warung ini dikenal sangat akrab bagi rakyat, karena mayoritas penikmatnya adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah. Di kota semarang warung ini disebut dengan sego kucing, di Jogjakarta ini disebut dengan angkringan dan di Solo sering disebut dengan hik, kesemuanya menuju pada satu tempat dimana masyarakat berkumpul untuk makan sambil mengobrol dengan penerangan seadanya berupa sentir atau lampu minyak, bermacam makanan kecil, 3 buah teko atau biasa di sebut dengan ceret dan yang menjadikan warung ini disebut sego kucing adalah bungskusan nasi yang berisi nasi sekepel (segenggaman orang dewasa) dengan lauk ikan teri, makanan seperti ini identik dengan makanan kucing sehingga masyarakat lebih mudah mengingat sebagai sego kucing.

Keunikan dari warung ini adalah dimana tidak hanya sebagai tempat masyarakat mencari makanan saja, namun merupakan arena berkumpul untuk membicarakan apapun yang dapat di bahas di sini tanpa perlu memikirkan pedagang akan mengusirnya, walaupun hanya mebeli teh satu gelas. Kenikmatan seperti inilah yang biasanya tidak didapatkan di restauran atau tempat makan lainnya, atas dasar keinginan untuk berbagi dan bersilaturahmi maka terjalinlah keakraban di bawah tenda kuning bernama warung sego kucing, di sini semuanya dapat dibicarakan dan biasanya antara pedagang dan pembeli atau pembeli dan pembeli akan membahas berita yang sedang menjadi pembicaraan umum saat itu, semua dapat berbicara baik pedagang, tukang becak yang ada di sana hingga mahasiswa dan pemuda-pemudi yang berwawasan luas. Ada satu keunikan yang sering terjadi pada masyrakat yang berkumpul di warung ini, ketika semua bahan pembicaraan habis maka muncul inisiatif pembicaraan yang bermula dari bungkus nasi yang biasanya terbuat dari kertas koran.

Setting di kucingan diyakini memiliki pengaruh terhadap budaya guyub yang di hasilkan dari kegiatan berkumpul dan makan di kucingan ini, banyaknya pengunjung yang duduk didepan gerobak yang menyediakan makanan akan terasa intim ketika duduk saling berhimpit dengan konsumen lainnya, mengambil makanan dan dekatnya pedagang dengan konsumen menimbulkan interaksi yang kadang sulit di dapatkan di lain tempat.

Suasana Kucingan
Sumber : Dokumentasi Peneliti 2008

Menurut penuturan pedagang kucingan, mereka berdagang tujuannya untuk menambah persaudaraan, menyediakan tempat bagi pengunjung yang ingin makan murah dan lengkap, dengan modal senyuman semuanya bisa menjadi akrab dan guyub.



salam... tunggu artikel dengan judul yang sama bagian ke - 2

Sabtu, 18 Oktober 2008

i hate this situation

Aku berada di sebuah lorong, di dalam tanah berupa lorong penantian sebuah kereta super cepat bawah tanah…

Aku harus berlari untuk dapat mencapainya, tiba tepat waktu dan tidak akan ditinggal untuk selamanya…

Aku mencoba sekuat tenaga untuk tiba tepat waktu, dijalani walau akan tertaih-tatih, tak kuasa melawan waktu…

Aku saat ini hanya melihat lorong gelap dengan temaram lampu redup penerang peron tanpa pengunjung…

Aku ingin untuk tak menyerah, aku ingin mampu untuk meraihnya, namun apa daya ketika kereta supercepat itu pergi…

Aku tertinggal dalam beberapa langkah, beberapa senggal hembusan nafas dan semuanya terasa bias didepan mata…

Aku linglung dalam sekejap, limbung dalam tegap dan jatuh dalam detik waktu yang terus berlalu…

Aku hanya merasa hembusan angin sisa laju kereta, aku hanya tercecer dari sebuah keterlambatan…

Aku dengan sebuah kemustahilan, sebuah probablititas semu dan keniscayaan yang nihil tak berarti…

Aku merasa ini adalah kereta terakhir, kereta tebaik dari semua yang ada, tidak, tidak ada yang selain ini…

Ah, semua kian terasa gelap, lampu-lampu redup itupun terasa enggan untuk menerangi peron panjang tak bertuan…

Aku hampa dalam gelap, tanpa bayangan yang mampu menemani, beradu dalam otak semua kata hati…

Aku berharap semoga ada lampu yang meneranginya untuk aku bisa berjalan keluar dari gelapnya lorong…

Aku ingin bertemu dengan bayang-bayang, berdebat dengan waktu dan perandaian-perandaian yang tidak nyata…

Aku kirim pesan singkat untuk waktu, kembalilah untukku hingga saat itu, saat kereta belum melaju, membuka pintu yang tak terbeli…


“I also hate this situation”

dibuat untukku & waktu yang selalu melaju meninggalkanku membentuk tembok tak tertembus…

Sabtu, 27 September 2008