Senin, 30 Juni 2008

newest song from SLIPKNOT

Slipknot… mengirim saya satu sampel lagu untuk album selanjutnya yang akan rilis dalam beberapa minggu ini (rencananya akan rilis full album pada bulan agustus).

Silhakan copas aja di:

http://rapidshare.com/files/126212518/Slipknot_-_All_Hope_Is_Gone.mp3.html

silahkan berbagi...
regards
Maggots


Minggu, 29 Juni 2008

Aktifitas yang Terjadi Pada Koridor Jalan

          Rapoport (1977) mengklasifikasikan kegiatan yang terjadi di jalan dan jalur pejalan kaki sebagai berikut:
  • Pergerakan non pedestrian, yaitu segala bentuk kendaraan beroda dan alat angkut lainnya.
  • Aktivitas pedestrian, meliputi aktivitas pedestrian yang dinamis atau bergerak sebagai manifestasi fungsi transportasi dan aktivitas pedestrian yang statis seperti duduk dan sebagainnya.

        Selanjutnya Rapoport juga menyatakan bahwa aktivitas pejalan kaki bukan hanya kegiatan berpindah semata, namun selalu terkait dengan aspek laten yang beragam.
Appleyard (1981) mengungkapkan tentang aktifitas yang terjadi di jalan, bahwa jalan adalah pusat sosial suatu kota dimana masyarakat berkumpul, tetapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian dan sirkulasi. Jalan selalu menjadi arena konflik antara pencapaian dan kegiatan hidup keseharian. Selanjutnya Bower (dalam Appleyard, 1981) mengatakan bahwa dalam hubungan antara wilayah pribadi dan publik, jalan adalah mediator antara dunia ”privat” unit keluarga dengan kehidupan komunitas yang lebih besar.

         Maslow (1968) mengidetifikasikan lima tingkatan keinginan dasar manusia:
 Keinginan fisiologis (physiological needs) : untuk kehangatan dan kenyamanan.
 Keinginan untuk keamanan dan keselamatan (safety and security needs) : untuk merasa aman dari kejahatan.
 Keinginan untuk berkeanggoataan (affiliation needs) : untuk menjadi anggota contohnya untuk berkomunitas.
 Keinginan untuk dihargai (esteem needs) : untuk merasa dihargai oleh yang lainnya.
 Keinginan untuk aktualisasi diri (self actualisation needs) : untuk mengekspresikan diri dan pemenuhan diri.
         Gehl (1996) mengkategorikan aktifitas pada ruang luar publik menjadi tiga ketegori:
 Aktifitas untuk keperluan (necessary activities), adalah kurang lebih (contoh, pergi ke sekolah atau bekerja, berbelanja, menunggu bus). Sebagai pelaku tidak ada pilihan, itu timbulnya hanya sedikit yang dipengaruhi oleh kondisi fisik.
 Aktifitas pilihan (optional activities), adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela, jika waktu dan tempat mengijinkan, dan cuaca dan kondisi mengundangnya. (contoh, berjalan untuk menghirup udara segar, berhenti untuk meminum kopi di kafe jalan, melihat masyarakat).
 Aktifitas sosial (social activities), tergantung pada kehadiran yang lain pada ruang publik. (contoh, menyapa dan berbicara, aktifitas komunal, kontak pasif seperti melihat dan mendengarkan orang lain). Disana terjadi secara spontanitas sebagai sebuah konsekuensi langsung dari pergerakan masyarakat yang sedang dalam ruang dan waktu yang sama. Ini mengimplikasikan bahwa aktivitas seperti itu adalah perlu didukung setiap kali dan aktivitas pilihan akan menjadikan kondisi lingkungan yang baik.

        Pernyataan Rapoport dan Appleyard menjelaskan bahwa aktifitas yang terjadi pada sebuah jalan merupakan fungsi laten dari fungsi manifest jalan, selanjutnya dikatakan bahwa jalan adalah sebagai ruang komunikasi / interaksi masyarakat, jalan juga sebagai pintu gerbang dunia privat keluarga menjadi daerah publik dengan beragam kegiatan masyarakat yang hadir di dalamnya dalam skala mikro menjadi kegiatan dengan skala makro yang berhubungan dengan masyarakat yang lainnya.


Referensi:
Appleyard, D, 1981, Livable Streets, Los Angeles, University of California Press.
Rapoport, A, 1977, Human Aspects of Urban Form, Towards a Man Environment Approach to Urban Form and Design, Oxford, Pergamon Press.
Gehl, J. and Gemzoe, L. 1996, Public Spaces – Public Life, The Danish Architectural Press, Copenhagen.
Maslow, A. 1968, Towards a Psychology of Being, Van Nostrand, New York.



Selasa, 24 Juni 2008

OPIUM



             Nama Opium berasal dari bahasa Yunani yaitu Opos (juice), atau Opion (Poppy Juice), Poppy Juice dalam bahasa indonesia bermakna sari buah bunga candu. Menurut Oxford English Dictionary, opium adalah suatu warna coklat yang kemerah-merahan, memberi wewangian obat yang sangat kuat menyebabkan kecanduan yang disiapkan dari getah kental yang dikeringkan dari kapsul bunga candu opium, memiliki nama ilmiah Papaver Somniverum, digunakan secara terlarang sebagai sebuah narkotika, dan adakalanya berhubungan dengan obat medik sebagai obat penenang dan sebagai obat penghilang rasa sakit.
Bunga candu opium atau papaver somniverum, adalah hanya satu dari lebih 100 spesies tumbuhan bunga yang tumbuh di alam liar dan yang dibudidayakan diseluruh dunia. Papaver somniverum adalah satu dari banyak bunga yang berbeda, itu merupakan satu dari hanya dua spesies yang menghasilkan morfin (morphine) / bahan aktif didalam opium, dan satu-satunya secara aktif ditanam untuk memproduksi obat.
Bertentangan dengan namanya, opium bukan sebuah campuran kimiawi tunggal, namun merupakan gabungan beberapa campuran kimiawi, seperti sebuah salad yang terdiri dari beberapa campuran seperti gula, protein, cuka, air dan banyak alkaloida, dan beberapa bahan lainnya. masyarakat yang menumbuhkan opium untuk harga narkotika terutama tertarik akan alkaloidanya.
 Suatu alkaloida adalah suatu unsur bahan kimia kompleks organik, ditemukan di tumbuh-tumbuhan, yang memiliki karakteristik menggabungkan nitrogen dengan elemen lainnya, memiliki rasa yang pahit, dan secara khas memiliki beberapa racun, stimulan, memiliki efek penghilang rasa sakit. Memiliki banyak alkaloid berbeda, pada tumbuhan opium ditemukan 30 jenis. Dengan morfin (morphine), merupakan alkaloid paling penting pada opium - itu kualitas narkotik alaminya seperti halnya struktur kimiawi yang sama tersedia untuk heroin - alkaloid lainnya, codeine, adalah yang juga dicari untuk ciri-ciri medisnya. Alkaloid-alkaloid lain termasuk didalamnya, papaverine, narcotine, nicotine, atropine, cocain, dan mescaline. Konsentrasi dari morfin (morphine) di opium bervariasi tergantung dimana dan bagaimana tumbuhan tersebut ditanam, dengan tingkatan dari 3% hingga 20%.



Struktur Kimia dari Morphine

sumber: Drugs The Straight Facts Opium

 Dari sudut pandang ilmu perkebunan, bunga opium benar-benar merupakan tumbuhan yang indah. Bunga candu ini tinggi, tanaman tipis sekitar 90 – 150 sentimeter dengan batang yang sedikit terlingkupi. Ketika sedang berbunga, keempat daunnya akan tumbuh dapat menjadi sebuah varian warna, putih, merah muda, biru, merah padam, atau apapun kombinasi dari warna-warna tersebut, daun-daunnya mengitari kelopak polong bagian dalam, kelopak polongnya memiliki tiga lapisan, termasuk dinding paling luar dan di dalam kompartmen dimana benih diproduksi. 

Ladang Bunga Candu

sumber:  flicker.com

Tentang tipikal ukurannya seukuran dengan bola golf, kelopak polongnya berisi dua produk utama: benihnya ( sekitar 1000 untuk setiap tumbuhan), yang dapat ditanam sebagai tumbuhan baru dan opium.

Poppy seeds inside pod

sumber: Drugs The Straight Facts Opium

Di kebanyakan negara didunia opium merupakan ilegal, namun ada beberapa pertanian yang beroprasi secara sah menurut hukum. Pertanian tersebut memproduksi untuk produk yang digunakan oleh industri yang berkaitan dengan farmasi untuk membuat berbagai macam obat. Jika dihitung hanya 15 persen dari semua pertanian bunga candu diarahkan untuk tujuan legal, unsur kimia yang dihasilkan sangat penting dan temasuk didalamnya:
- morphine
- codeine
- dihydrocodeine
- hydrocodone
- thebaine
- oxycodone
- ethylmorphine

Produk obat-obatan ini digunakan sebagai salah satu jalan untuk menangani beberapa kondisi medis, yang umum mencakup batuk, diare, dan nyeri. Ahli bedah dan dokter gigi juga menggunakan morphine, unsur bahan kimia yang paling utama di dalam bunga opium, sebagai suatu anesthetic. Sayangnya kebanyakan opium diubah menjadi heroin dan berakhir pada pembuluh darah pecandu.
Saat ini opium dijual di jalan – jalan dalam bentuk bubuk / powder, atau warna coklat padat, dan itu dihisap, dimakan, atau disuntikkan. Beberapa efek dari penggunaan opium dari struktur yang sama, molekul candu menduduki banyak dari lokasi sel yang sama yang peka rangsangan - syaraf, dan memberi efek yang sama dengan obat penghilang sakit sebagai penawar rasa sakit alami badan. Pecandu opium pertama kali memproduksi rasa senang dan bahagia, tetapi dengan dilanjutkannya penggunaan opium ini badan menginginkan yang lebih untuk menjangkau rasa yang sama menjadi lebih nikmat. Kesulitan kekurangan gizi, yang berhubungan dengan pernafasan, dan tekanan darah yang rendah adalah sebagaian dari macam-macam penyakit yang dihubungkan dengan kecanduan.


Referensi:
Santella, Thomas M, 2007, Drugs The Straight Facts Opium, Chelsea House, New York.

http://en.wikipedia.org/wiki/Opium

http://images.search.yahoo.com/search/images;_ylt=A0S0207GPGJIPKkARPuLuLkF?ei=utf-8&fr=sfp&p=opium&iscqry=




Teori dan Konsep Urban Space, Place

            Moughtin (1992) memberikan pengertian bahwa jalan merupakan sebuah keseluruhan, sebuah ruang tiga dimensi diantara dua garis bangunan maupun pepohonan. Pernayataan ini diperkuat oleh Ching (1996) yang menyatakan bahwa bidang dinding eksterior memisahkan sebagian ruang untuk menciptakan suatu lingkungan interior yang terkontrol. Ini mengindikasikan bahwa sebuah jalan yang pada mulanya hanya sebuah space akan menjadi sebuah place jika jalan ini dilingkupi dengan keberadaan bangunan dan landscape di sepanjang jalan. Sedangkan pengertian tiga dimensi menurut Ching adalah sebuah bidang yang dikembangkan sehingga memiliki : panjang, lebar, dan tinggi, bentuk dan ruang, permukaan, orientasi dan posisi.

 

Bidang vertikal yang membentuk ruang (space)
Sumber: Ching, 1996
        Dua buah bidang vertikal sejajar membentuk suatu volume ruang di antaranya yang berorientasi aksial terhadapa kedua ujung terbuka dari konfigurasinya (Ching, 1996).
 

Sekumpulan pepohonan yang membentuk tempat (place) 
Sumber : Ching, 1996
           Trancik (1986) menjelaskan bahwa sebuah ruang (space) akan ada jika dibatasi dengan sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah tempat (place) kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya. Schulz (1979) menambahkan bahwa sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Menurut Zahnd (1999) sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Selanjutnya Zahnd menambahkan suasana itu tampak dari benda konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda yang abstrak, yaitu asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh manusia di tempatnya.
Sebuah tempat (place) akan terbentuk bila dibatasi dengan sebuah void, serta memiliki ciri khas tersendiri yang mempengaruhi lingkungan sekitarnya.
Madanipour (1996) memberikan penjelasan bahwa dalam memahami tempat (place) dan ruang (space) menyebut 2 aspek yang berkaitan:
1. kumpulan dari bangunan dan artefak (a collection of building and artifacts).
2. tempat untuk berhubungan sosial (a site for social relationship).
Selanjutnya menurut Spreiregen (1965), urban space merupakan pusat kegiatan formal suatu kota, dibentuk oleh façade bangunan (sebagai enclosure) dan lantaikota.
         Jadi sudah sangat jelas bahwa sebuah jalan yang bermula sebagai space dapat menjadi place bila dilingkupi dengan adanya bangunan yang ada di sepanjang jalan, dan atau keberadaan landscape yang melingkupi jalan tersebut, sebuah place akan menjadi kuat keberadaannya jika didalamnya memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya.
Referensi:
Ching, Francis D.K. 1996. Architecture : Form, Space And Order. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
Madanipour, A, 1996, Design of Urban Space, an inquiry into socio – spatial process, Wiley, New York
Moughtin, C, 1992, Urban Design, Street and Square, an imprint of butterworth Heineman ltd, Linacrehouse, Oxford.
Spreiregen, Paul D, 1965, Urban Design: The Architecture of Towns and Cities, New York, Mc Graw Hill Book Co.
Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu : Teori Perancangan Kota Dan Penerapannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Senin, 23 Juni 2008

9 jenis kecerdasan manusia

1.Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan dalam mengolah kata-kata secara efektif baik bicara ataupun menulis (jurnalis, penyair, pengacara)
Ciri-ciri :
- Dapat berargumentasi, meyakinkan orang lain, menghibur atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata
- Gemar membaca dan dapat mengartikan bahasa tulisan dengan jelas

2. Kecerdasan Matematis-Logis
Kecerdasan dalam hal angka dan logika (ilmuwan, akuntan, programmer)
Ciri-ciri :
- Mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi
- Berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis
- Pandangan hidupnya bersifat rasional

3. Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan yang mencakup berpikir dalam gambar, serta mampu untuk menyerap, mengubah dan menciptakan kembali berbagai macam aspek visual (arsitek, fotografer, designer, pilot, insinyur)
Ciri-ciri :
- Kepekaan tajam untuk detail visual, keseimbangan, warna, garis, bentuk dan ruang
- Mudah memperkirakan jarak dan ruang
- Membuat sketsa ide dengan jelas

4. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani
Kecerdasan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresiakan gagasan dan perasaan (atlet, pengrajin, montir, menjahit, merakit model)
Ciri-ciri :
- Menikmati kegiatan fisik (olahraga)
- Cekatan dan tidak bias tinggal diam
- Berminat dengan segala sesuatu

5. Kecerdasan Musikal
Kecerdasan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk musik dan suara (konduktor, pencipta lagu, penyanyi dsb)
Ciri-ciri :
- Peka nada dan menyanyi lagu dengan tepat
- Dapat mengikuti irama
- Mendengar music dengan tingkat ketajaman lebih

6. Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak dan temperamen orang lain (networker, negotiator, guru)
Ciri-ciri :
- Menghadapi orang lain dengan penuh perhatian, terbuka
- Menjalin kontak mata dengan baik
- Menunjukan empati pada orang lain
- Mendorong orang lain menyampaikan kisahnya

7. Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan pengetahuan akan diri sendiri dan mampu bertidak secara adaptif berdasar pengenalan diri (konselor, teolog)
Ciri-ciri :
- Membedakan berbagai macam emosi
- Mudah mengakses perasaan sendiri
- Menggunakan pemahamannya untuk memperkaya dan membimbing hidupnya
- Mawas diri dan suka meditasi
- Lebih suka kerja sendiri

8. Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan memahami dan menikmati alam dan menggunakanya secara produktif dan mengembangkam pengetahuan akan alam
(petani, nelayan, pendaki, pemburu)
Ciri-ciri :
- Mencintai lingkungan
- Mampu mengenali sifat dan tingkah laku binatang
- Senang kegiatan di luar (alam)

9. Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia (filsuf, teolog,)
Ciri-ciri :
- Mempertanyakan hakekat segala sesuatu
- Mempertanyakan keberadaan peran diri sendiri di alam/ dunia


in this case, where your position?

Minggu, 22 Juni 2008

sepi

Sejauh hati ini..
Direlung jiwa ini…
Beradu nurani ini…
Menerawang hari mencari mimpi…

Dia tlah pergi…
Dari sudut hati…
Bernyanyi dan tertawa..
Berteriak dan merana..

Rahasia di hati..
Tak tergapai diri…
Bagai cahaya Ilahi…
Mencari hati yang suci…

Kaubius diri ini…
Dalam sepi…
Tercecer serpihan hati…
Mungkin ini…
Halusinasi…

Bayangan ini…
Menghantui pangkal otak kiri…
Teringat lembaran hari demi hari…
Tak pernah terucap kata yang pasti..

Mimpi..
Mimpi yang mungkin kembali…
Mimpi yang terbebani..
Mimpi yang terbaur dengan api…
Demi sebuah sepi…


Dibuat untuk diri, sepi, teman yang telah pergi, dan mungkin kembali, atau hanya dalam mimpi…

fungsi manifest dan laten jalan

       Jalan menurut undang-undang jalan raya No. 13 / 1980, adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas. Menurut Moughtin (1992), jalan adalah garis komunikasi yang digunakan untuk melakukan perjalanan di antara dua tempat yang berbeda, baik menggunakan kendaraan maupun berjalan kaki. Jika disebut jalur, jalan adalah cara untuk menuju akhir tujuan atau perjalanan. Jalan merupakan permukaan linier dimana pergerakan terjadi di antara dua tempat, sehingga dapat dikatakan fungsi jalan adalah menjadi penghubung antara dua bangunan, penghubung antara dua jalan dan penghubung antara dua kota. Pendapat ini diperkuat oleh Carr (1992), yang mengatakan bahwa jalan adalah komponen dari sistem komunikasi kota sebagai sarana pergerakan benda, masyarakat dan informasi dari suatu tempat ke tempat yang lain.
         Selanjutnya, menurut Spurrier dalam Bishop (1989), jalan tidak dapat dipertimbangkan hanya sebagai jalur kendaraan, tetapi secara keseluruhan menjadi bagian integral kehidupan manusia. Dan Budiharjo (2005), mengatakan bila jalan direncanakan hanya berdasarkan anggapan akan fungsinya, maka akan menutup peluang untuk memanfaatkan jalan sebagai ruang untuk beraktivitas. Lewelyn – Davies (2000), menguraikan bahwa pada setiap perencanaan sebuah jalan timbul pertanyaan ”apa yang dapat terjadi di jalan ini?”. selanjutnya Lewelyn – Davies mengungkapkan dari fungsi awal jalan sebagai jalur penghubung, muncul kegiatan lain di sepanjang jalan tersebut, namun harus dilihat pula dari beberapa aspek lainnya, seperti peranan jalan itu sendiri dari sudut pandang masyarakat, tipe dari bangunan disekitarnya serta penataan landscape yang mendukung.
         Appleyard (1981), mengungkapkan bahwa jalan adalah pusat sosial kota dimana masyarakat berkumpul, tapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian dan sirkulasi. Ditambahkan oleh Jacobs (1993) bahwa jalan yang baik mendorong partisipasi, masyarakat berhenti untuk berbicara atau mungkin mereka duduk dan melihat, sebagai peserta pasif, menerima apa yang ditawarkan jalan.
         Dari beberapa uraian teori diatas diketahui bahwa jalan merupakan sarana untuk melakukan perpindahan dari suatu tempat menuju pada suatu tempat, dari satu titik menuju ke titik lainnya. Namun jalan merupakan suatu arena kegiatan sosial pula, sebagai pintu gerbang ruang privat manusia menuju ke ruang dengan dimensi yang lebih luas yaitu masyarakat / publik.
       Amos Rapoport mendeskripsikan bahwa kegiatan utama atau kegiatan tetap suatu objek disbut dengan fungsi manifest. Fungsi manifest adalah fungsi dasar atau fungsi tetap dari suatu lingkungan binaan yang ditentukan / direncanakan sejak awal dan kegiatan manifest adalah kegiatan spesifik dari fungsi tersebut (Rapoport, 1977).
      Sedangkan kegiatan tambahan atau kegiatan yang muncul setelah fungsi sebenarnya / manifest disebut sebagai fungsi laten. Fungsi laten adalah ”fungsi sampingan” yang terjadi kemudian karena adanya kegiatan-kegiatan ”varia” yang muncul meskipun biasanya tidak dipertimbangkan sebelumnya dalam perencanaan (Rapoport, 1977).
Jika dikaitkan, maka jalan dengan fungsi manifestnya sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan antara 2 tempat yang berbeda, dan jalan memiliki fungsi laten sebagai tempat beraktifitas sosial, tempat berhubungan antar masyarakat, masyarakat sebagai peserta aktif maupun pasif yang mungkin hanya duduk atau melihat apa yang ditawarkan oleh jalan tersebut.
       Sebagai contoh jalan yang memiliki fungsi laten yang beragam dan sangat kompleks ada di beberapa kota di Indonesia, umunya adalah jalan yang memiliki dimensi yang lebar, dan memiliki tingkat kepentingan yang tinggi (misalnya pada jalan tersebut terdapat kantor-kantor pemerintahan), salah satunya jalan Pahlawan Semarang, pada koridor jalan ini terdapat beberapa fenomena kegiatan laten yang timbul disamping aspek manifestnya, aktifitas klub otomotif, perdagagan sektor informal, hingga sebagai tempat ngabuburit di saat bulan puasa tiba. Dari beberapa koridor jalan di kota Semarang, Jl. Pahlawan dipilih oleh masyarakat sebagai tempat untuk mengekspresikan diri / berkegiatan, ini menimbulkan kesan tersendiri pada kota ini, sehingga jika suatu saat muncul pertanyaan ” jalan apakah di kota Semarang yang memiliki daya tarik sebagai ruang sosial?” maka jawabannya adalah Jalan Pahlawan.
 Fenomena kegiatan ini secara berkala terjadi terus menerus, menjadi daya tarik pusat kota, dan kelebihannya kawasan ini adalah tidak terjadinya konflik antara pengguna ruang di koridor ini, pedagang dengan masyarakat yang beraktifitas, antara pedagang dengan parkir dan lain sebagainya, kesemuanya saling bersinergi dengan baik.
       Dari uraian diatas, dijelaskan bahwa saat ini jalan bukan hanya memiliki fungsi sebagai sarana transportasi saja, namun juga sebagai tempat dimana aktifitas dapat dilakukan, sebagai wadah untuk bersosialisasi antar pengguna ruang yang disebut aktifitas laten, keberagaman fungsi akan timbul jika kegiatan telah terjadi pada sebuah koridor jalan, pengguna ruang dengan berbagai latar belakang budaya memberikan cirikhas tertentu pada koridor tersebut, sehingga koridor tersebut memiliki makna tersendiri.

Referensi:   
Bishop, Kirk R. 1989. Designing Urban Corridors. American Planning Association. Washington DC.
Budihardjo, Eko. 2005. Tata Ruang Perkotaan. PT Alumni. Bandung
Carr, Stephen. 1992. Public Space. Cambridge University Press. USA.
Davies – Lewelyn, 2000, Urban design Compendium 1, Housing Corporation, English Partnership.
Jacobs, Allan B, 1993, Great Streets, Cambridge, MIT Press.
Moughtin, C, 1992, Urban Design, Street and Square, an imprint of butterworth Heineman ltd, Linacrehouse, Oxford.
Rapoport, A, 1977, Human Aspects of Urban Form; Towards a Man Environment Approach to Urban Form and Design, Oxford, Pergamon Press.
Rapoport, A, 1982, The Meanning of The Built Environment, Beverly Hills, California, Sage Publication.
Trinugrohoadiwijaya, F, 2008, Tesis: Fungsi Laten Koridor Jalan di Pusat Kota Semarang, Studi Kasus Jl. Pahlawan, Magsiter Teknik Arsitektur UNDIP, (Tidak dipublikasikan).



Sabtu, 21 Juni 2008

Kota Lama Semarang Potensi Yang Tak Tergantikan

            Sebuah sejarah tidak akan lepas dari perkembangan suatu kota, tak terkecuali kota Semarang, sebagai salah satu kota besar di Indonesia tak lepas dari sejarah keberadaan Belanda (VOC) sebagai salah satu kota dengan potensi yang sangat diunggulkan dari beberapa aspek, seperti perdagangan dan pertahanan.  
               Memiliki nama sejarah yaitu Samarang, Samarangh, Zamarang dan yang terakhir pada jaman modern ini adalah Semarang memiliki koordinat: 6º58'00 S 110º29'00 E, berada di pulau Jawa (java), (VOC) Region: Java’s Noord Oost Kust (VOC - gebled). Semarang juga sering disebut sebagai “Belanda kecil” (The Little Netherland), dan Vanesia dari timur (Vanesia van timoer), kawasan ini berkembang sangat pesat sejak abad ke -17 pada saat Belanda menduduki kota ini. Belanda menduduki kawasan pantai utara Jawa Tengah, mendirikan benteng dan kawasan permukiman warga Eropa terutama warga Belanda. Daerah yang ditempati oleh Belanda menjadi embrio perkembangan kota Semarang pada masa selanjutnya, bermula dari Oudestad van Samarang yang lebih dikenal sebagai ”Kota Lama” menjadi pusat pemerintahan kota setelah pusat pertahanan militer dan kantor dagang VOC dipindah dari Jepara ke Semarang pada tahun 1705 dan 1773, dari kondisi inilah pemerintah Belanda membuat benteng pada kawasan kota lama ini yang digunakan sebagai pertahanan juga sebagai pemisah antara permukiman orang-orang Eropa, Jawa serta Tionghoa. Bermula dari benteng inilah fasilitas-fasilitas warga mulai tersedia, dari permukiman, pertokoan, tempat ibadah, rumah sakit, panti asuhan hingga pengadilan.
Sering perkembangan jaman yang mendesak kebutuhan akan ruang kota, maka kota ini semakin berkembang, sehingga benteng dibongkar pada tahun 1824 untuk mengakomodasi pertumbuhan kota yang meningkat.
          Dalam konteks kekinian, kawasan kota lama ini masih dipergunakan untuk beberapa aktifitas perdagangan, ibadah dan perkantoran, karena kondisi yang kurang representatif, bangunan-bangunan yang dimakan usia tanpa perawatan yang berarti, pemanfaatan bangunan ”mangkrak” untuk tempat tinggal tuna wisma dan beberapa permasalahan kompleks yang cenderung mendasar.
             Bukanlah hal yang mudah pula melakukan konservasi pada kawasan ini untuk di perbaiki, dari usia bangunan yang menua, bahan bangunan serta gangguan dari luar (seperti kendaraan yang lalu lalang, menimbulkan getaran yang dapat memper pendek usia bangunan). Seharusnya ada revitalisasi dengan perubahan fungsi kawasan seiring dengan pembenahan kawasan, misalnya pada kawasan kota lama ini kendaraan tidak diperkenankan untuk melewati jalan-jalan ini, kawasan ini dibuat hanya untuk skala manusia berjalan kaki atau alat transportasi ringan seperti sepeda atau becak, kawasan berfungsi sebagai citywalk. Namun hal ini perlu pemikiran matang terkait dengan keberadaan penduduk dan perkantoran, perlu ada pemecahan khusus masalah perparkiran, penyelesaian sirkulasi untuk menuju ke dalam kawasan dan didalam kawasan. Selain itu harus dipikirkan embrio kegiatan wisata dengan memfungsikan kembali bangunan – bangunan mangkrak dengan mengisi kegiatan di dalamnya.
            Pekerjaan besar menanti pemerintah kota Semarang, melakukan konservasi bukan hal yang murah, revitalisasi bukan hal yang mudah, namun menghancurkan bangunan-bangunan peninggalan sejarah ini adalah kerugian besar, membiarkan bangunan ini tidak berfungsi secara semestinya adalah kecerobohan. Saat ini tinggal kesadaran petinggi pemerintah yang harus berpikir maju, positif dan tidak merugikan, bukan untuk menghancurkan khasanah sejarah kota atau menggadaikan kewibawaan kota untuk kepentingan golongan sempit belaka, bantuan dari pemerintah Belanda sebagai negara yang ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab wajib dianggap sebagai niatan tulus dan pemacu semangat untuk melestarikan kawasan ini.

Rabu, 11 Juni 2008

Desain Gaya Arsitektur Bangunan yang Tanggap Terhadap Lingkungan Beriklim Tropis


Fath Trinugrohoadiwijaya

Abstraksi

Perubahan suhu yang saat in terjadi secara global mengakibatkan perubahan pola hidup manusia termasuk pula di bidang arsitektur perancangan, berkembang pesatnya material bangunan memiliki kecenderungan semakin hari semakin tidak ramah terhadap lingkungan. Pola kehidupan manusia mulai berubah dengan sendirinya, begitupula dengan gaya berarsitektur masyarakat saat ini, di Negara seperti Indonesia ini, iklim merupakan salah satu hal yang paling harus dipertimbangkan untuk melaksanakan sesuatu, dalam pemilihan bahan bangunan tentu saja iklim sangat berpengaruh. Berbeda dengan Negara-negara Eropa yang merupakan negara tidak beriklim tropis, perbedaan sangat signifikan terjadi manakala penerapan gaya bangunan berlainan iklim diterapkan pada sebuah negara yang berlawanan iklimnya. Indonesia beriklim tropis yang memiliki curah hujan yang sangat tinggi, hujan terjadi di negara ini bisa sangat lebatnya dengan angin yang kencang. Berbeda dengan negara Eropa yang merupakan negara beriklim sub tropis meiliki curah hujan yang cukup kecil, dalam hal gaya arsitektur negara-negara ini memiliki pandangan tersendiri untuk menyesuaikan dengan iklim mereka, maka munculah aliran-aliran arsitektur dengan gaya mereka, dengan pengaruh negara Eropa yang sangat kuat terhadap negara lainnya maka teori-teori tentang arsitektur cara barat tersebar dengan mudah. Negara Tropis seperti di Indonesia sebagian besar masyarakatnya adalah orang-orang yang paham akan teknologi dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, dalam hal ini adalah gaya arsitektur. Banyaknya literatur dari barat tidak mengindikasikan gaya arsitektur mereka beberapa sangat tidak cocok jika diterapkan di kawasan tropis. Maka yang terjadi adalah banyak bangunan-bangunan di negara tropis justru bangunan yang sebenarnya paling layak jika di bangun di kawasan sub tropis, akibatnya adalah penyesuaian-penyesuaian banyak dilakukan pada bangunan tersebut.
Hendaknya dalam mewujudkan arsitektur yang maju harus dipertimbangkan iklim yang paling utama, bila ditelaah lebih dalam, bangunan tradisional Indonesia adalah bangunan yang paling cocok di kawasan tropis ini, selain hemat energi, bahan bangunannya tidak merusak lingkungan dan tidak menimbulkan efek yang merugikan bagi kawasan sekitarnya dalam kata lain sebagai bangunan yang ramah terhadap lingkungan, jika ini diterapkan pada skala yang lebih besar maka akan terwujud kawasan yang ramah lingkungan.

Kata kunci: Tropis, Sub Tropis, Gaya Arsitektur, Ramah lingkungan




Pembahasan
Dewasa ini bangunan tradisional Indonesia mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri, beragam gaya arsitektur mewabah di bumi Indonesia, dan semua adalah asli produk dari bangsa Barat. Istilah ”global architecture destroyed the regional environment” merupakan salahsatu hal yang patut dicermati, masyarakat bangsa-bangsa timur saat ini lebih condong dengan arsitektur barat yang pada hakekatnya malah menghancurkan khasanah arsitektur timur yang unik dan berasal dari tempat-tempat aslinya.
Hal yang paling penting untuk dijadikan parameter kebutuhan desain arsitektur adalah iklim, cuaca atau keadaan suhu disuatu tempat. Secara global adalah iklim di wilayah dunia bagian timur adalah tropis, tropis meliputi beberapa bagian bumi, meliputi sabuk yang lebar di sekitar pertengahan bumi, luasnya kira-kira 23,50 tingkat kearah kedua kutup dari katulistiwa dan berisi hampir 40% total permukaan daratan bumi, dengan curah hujan yang relatif tinggi, suhu udara yang cukup tinggi, pada siang hari mampu mencapai 350 C yang harus ditoleransi oleh masyarakat tropis, banyaknya hujan yang sering terjadi pada kawasan tropis memiliki tingkat kelebatan yang tinggi. Dari segi positif keadaan ini adalah tropis memiliki hutan-hutan yang lebat, pohon-pohon mudah untuk tumbuh, sehingga tercipta keseimbangan antara cuaca yang ekstrim dengan pengendalinya yaitu pepohonan.
Masyarakat tradisional kawasan timur sudah sejak lama mengakomodasikan alam ini, belajar dari alam lalu menyesuaikan dengan alam untuk dapat beradaptasi dengan baik, namun keadaan mulai berubah manakala dominasi barat mengalami penguatan dalam segala hal, pada bidang arsitektur dimulai pada abad ke-20 arsitektur telah menjadi sekedar fungsional, rasionalisme, standarisasi dan ekonomi, kesemuanya ini adalah kehidupan yang dibuat-buat yang membosankan. Maka muncul penerapan-penerapan desain baru yang bukan sekedar hal-hal diatas, kreatifitas, gaya hidup, dan perubahan pola pikir masyarakat mempengaruhi apresiasi desain arsitektur.
Hegemoni barat mengakar kuat sejak dahulu mengakibatkan masyarakat timur mulai tercuci otaknya dengan adanya teori-teori negara barat, idiom bahwa negara barat adalah negara yang maju (walaupun kenyataannya memang demikian) mengakibatkan masyarakat negara timur menjadikan negara barat sebagai acuan dalam segala bidang. Dalam ranah arsitektur begitu kentara dengan pemakaian teori-teori barat untuk literatur desain, disebutkan sebagai teori-teori yang pakem namun jika diaplikasikan di kawasan ini dibutuhkan beberapa penyesuaian.
Banyak faktor yang mengakibatkan masyarakat tropis memilih teori-teori, langgam-langgam arsitektur barat, diantaranya adalah faktor ekonomi, walaupun bukan sebagai faktor utama, faktor ekonomi memberikan dampak yang cukup signifikan, saat ini banyaknya masyarakat dengan ekonomi berlebih menjadikan prestise sebagai kiblatnya, dalam bidang arsitektur di Indonesia khususnya ukuran keberhasilan seseorang adalah memiliki rumah yang mewah, megah, dan mengikuti gaya arsitektur barat yang sedang tenar. Jika disinkronkan dengan bidang arsitektur biasanya masyarakat ini lebih memilih desain bangunannya yang tidak ada duanya di kawasan tersebut dan disesuaikan dengan trend terbaru pada waktu itu, atau dengan desain-desain karya luar negeri, tidak memikirkan faktor iklim, lingkungan atau keseragaman kawasan, mereka lebih cenderung memperlihatkan perbedaan secara ekstrim.
Faktor lainnya yang berpengaruh adalah pola pikir masyarakat yang cenderung mentasbihkan negara barat sebagai pusat dari segala-galanya. Perkembangan jaman yang begitu pesat, perkembangan teknologi yang kian meningkat menjadikan hidup semakin dipermudah dengan teknologi, segalanya saat ini menjadi serba instan, mudah diakses, dan tidak perlu membebani pikiran. Dalam bidang arsitektur pola pemikiran ini berlaku, dengan munculnya desain-desain dengan gaya arsitektur yang beragam, kesemuanya itu menindaklanjuti paradigma pemikiran manusia yang semakin maju dan berkembang.

Sebuah rumah dengan gaya arsitektur mediterania yang disesuaikan dengan iklim tropis

Pemilihan gaya arsitektur yang dipengaruhi oleh gaya arsitektur barat sering diaplikasikan pada perumahan di kawasan tropis, sekedar untuk mengejar keuntungan ekonomi saja atau mengapresiasi keinginan masyarakat modern.
Konsekuensinya adalah dengan penambahan-penambahan bahan guna mengantisipasi kekurangsesuaian gaya arsitektur barat pada iklim tropis.


Dari gambar diatas mengindikasikan bahwa perlu penyesuaian terhadap bangunan-bangunan dengan desain yang kurang akrab dengan kondisi iklim tropis. Permasalahan yang didapat adalah jatuhnya air hujan yang berlimpah sehingga mengakibatkan teras rumah menjadi tergenang, terjadi rembesan-rembesan air pada sekitar jendela dan pintu depan.
Seharusnya dalam menentukan pemilihan gaya bangunan perlu diperhatikan beberapa aspek yang penting, beberapa kriteria tersebut adalah:
- kondisi klimat yang terdapat pada wilayah tersebut, dengan memperhatikan:
 suhu maksimum, minimum dan rata-rata.
 Curah hujan.
 Radiasi matahari.
 Arah dan kecepatan angin.
Pemahaman seperti ini memang seharunya diberikan oleh arsitek untuk meyakinkan klien bahwa penyesuaian gaya arsitektur pada iklim nantinya sangat perlu, akan berkaitan dengan daya tahan bangunan, kenyamanan penghuni, dan kesatuan lingkungan serta dampak ekologi yang akan timbul.
Salah satu aplikasi bangunan yang diharapkan sesuai dengan lingkungan dengan iklim tropis adalah Menara Mesiniaga Malaysia, dengan konsep arsitektur bioklimatik, mengetengahkan bangunan dengan green building.

Menara Mesiniaga dengan konsep arsitektur bioklimatik



Salahsatu hal yang dipikirkan pada bangunan ini adalah memanfaatkan energi matahari sehingga hemat pada beberapa komponen bangunan.
Iklim tropis memiliki cahaya matahari yang menerangi sepanjang 12jam, sehingga pemanfaatannya dapat berguna untuk bangunan, tentunya dengan beberapa teknik penggunaan, seperti penggunaaan sun shading untuk mengatur seberapa banyak pancahayaan yang masuk. Selain itu diterapkan pula pengolahan lansekap, berupa taman berbentuk spiral yang melilit dari bawah sampai atas bangunan. Lansekap vertikal ini berfungsi sebagai pendingin evaporatif supaya didapat kenyamanan termal (lingkungan disekitar bangunan menjadi tidak terlalu panas), pengaplikasian vegetasi pada strategi lansekap ini disamping menyediakan pembayangan terhadap area-area bagian dalam dan dinding bagian diluar, juga akan meminimalkan pemantulan panas dan sinar matahari. Selain itu lansekap vertikal dapat meningkatkan iklim mikro pada bangunan dan dapat menyerap polusi karbondioksida dan monoksida pada bangunan.
Jika penerapan-penerapan ini diaplikasikan pada bangunan-bangunan tropis maka diharapkan menjadi bangunan-bangunan yang tanggap terhadap lingkungan, sesua dengan ikim tropis dan tidak merugikan bangunan atau lingkungan disekitarnya. Dibutuhkan pemahaman akan gaya berarsitektur baik secara mikro tentang bangunan maupun secara global tentang lingkungan yang harus menjadi pertimbangan.

Kesimpulan
Seringkali seseorang terpancang dengan modernitas pemikiran gaya arsitektur yang berkembang pada saat ini, hal ini didukung dengan pengetahuan instan tentang arsitektur yang mulai marak di dapat pada buku-buku arsitektur, seharusnya pemikiran arsitektur harus diimbangi dengan seorang arsitek yang menerangkan akan kelebihan dan kekeurangan bahan konsumsi instan tersebut. Diharapkan pada masa selanjutnya adalah pemahaman akan arsitektur lebih baik bila disesuaikan dengan kondisi kehidupan di kawasan ini, baik dilihat dari faktor iklim, atau faktor-faktor yang lainnya.

“Arsitektur hijau adalah mendesain untuk menyatukan apa yang akan kita bangun (yaitu semua yang akan kita buat seperti gedung, jalan, mobil, pendingin, mainan, makanan, dll) dengan lingkungan alami di sekitarnya secara terpadu dan berkelanjutan.”
(Ken Yeang, Betterbricks Interview)


Referensi
Hakim, R, 2003, Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap Prinsip-prinsip dan aplikasi desain, Bumi Aksara, Jakarta.
Nugroho, F, 2005, Low Energy Office, Tugas Seminar Studi Kelompok Semester VII, Mahasiswa Strata Satu UNDIP (tidak dipublikasikan).
Wright, F, 1939, Between Principle and Form,
Yeang, K, 1996, The Skycraper, Bioclimatically Consider, Singapore.
Yeang, K, 1987, Tropical Urban Regionalism, A Mimar Book, Singapore.